Judul : Hati Yang Damai
Karya : Nh. Dini
Penerbit : Gramedia
Tahun : 1998
Tebal buku :
89 halaman
Sinopsis
Dati adalah istri dari seorang
penerbang yang bernama Wija. Besuamikan seorang penerbang memiliki pengalaman
batin tersendiri bagi Dati karena suaminya selalu berdampingan dengan maut, dan
bagaimana ia
ingin menyelamatkan suamiya dari tangan maut dengan cinta. Tapi ia sadar tidak
mungkin bisa menyelamatkan suaminya, ia hanya bisa berdo’a dan berharap kalau
suminya akan kembali dengan selamat. Sebab ia menikah dengan Wija hanya rasa
wajib jadi seorang istri. Tapi Dati masih menyimpan cinta yang lain ia berselingkuh
dengan mantan pacarnya sewaktu main musik di kota yang bernama Sidik ia juga
dekat dangan Nardi tapi Dati memutuskan cinta segitiga ini dengan menikahi Wija
sosok lelaki yang ia anggap sebagai suami yang cocok buat dia. Perkenalan Dati
dengan Wija diawali ketika ada suatu pameran model pesawat yang diadakan oleh
pandu-pandu udara. Bersama rombongan regunya Dati selalu berusaha untuk tidak
melewatkan kesempatan-kesempatan seperti itu. Dati tidak pernah mengetahui
siapa namanya sampai beberapa minggu kemudian. Setelah sekian lama tak bertemu
siang itu Dati baru pulang dari kerja ia belum sempat makan ketika ia mendengar
ada seseorang yang memanggil namanya didepan pintu lalu Dati membuka pintu teryata Wija ada
di sana yang baru pulang dari Bali.
Wija mengungkapan apa yang ada dalam
hatinya dan ia melamar Dati dan akhirnya mereka menikah setelah dua bulan wija
lulus dari pendidikan. Mereka mendiami asrama bersana kawan-kawan yang lain.
Diantara mereka ada yang sudah berkeluarga ada juga yang masih bujang.aku
semula masih terkejut dan merasa asing dengan kehidupan barunya bertetagga
banyak orang. Wija tiba-tiba mencium Dati di depan teman-temannya matanya
memandang ku dengan penuh rasa cinta. Selang beberapa tahun mereka mempunyai
dua anak Atni dan Anto. Asti adalah
istri dari kakak dati yang biasa dipanggil dengan Mas Jat karena sama-sama
sibuknya dan asti seing ditinggal Mas Jat kelur kota akhirnya asti juga
memiliki cinta yang lain ia sering jalan dengan pejabat-pejabat tinggi dan
salah satunya adalah sidik. Setelah beberapa bulan menikah ayah Wija meninggal.
Pada saat pemakaman ada seorang perempuan cantik tiba-tiba muncul mendekati
suamiku dengan tersenyum. Aku heran siapa dia? Teryata perempuan itu adalah ibu
Wija yang meninggalkannya sewaktu masih kecil demi meneruskan usaha ayahnya di
sumatra. Semenjak itulah kebahagiaan
mereka lenyap ibunya pindah ke Sumatra dan hidup di sana tanpa menerima surat
cerai dari suaminya. Ayah wija kembali ke Denpasar. Dan wija tumbuh dengan
segala cintanya terhadap ayahnya. Dia baru mengetahui semua itu ketika ia
menengok ayahnya yang sedang sakit keras, kemudian beberapa hari lagi datang
kepadaku. Sebenarnya wija tidak ingin menceritakan semuanya karena ia tidak
ingin mengulangi kesedihan dan tidak mau dikasihani.
Aku kembali ke Jakarta beberapa hari
kemudian. Ada hal-hal yang kudegar. Pendaratan pasukan Pemerintah Pusat sudah
dilakukan di Padang. Aku bertannya-tanya dimana suamiku sekarang. Beberapa
orang mengatakan, bahwa sebagian regu dipindahkan berpangkalan di Palembang, sebagian lagi
masih di Medan. Sesudah sebulan ditinggal Wija, akhirnya aku agak tenang. Keluar berbelanja
kekota dengan Sus dan kawan-kawan suamiku dan anak-anakku. Kadang-kadang
kebioskop dengan Sidik dan Atni jika ada film anak-anak. Sidik tampak terkejut ketika mendengar
tentng kematian Asti. Ketika kecelakaan itu terjadi, ia sedang kongres di
Surabya. Aku tak tau apa yang dipikirkannya. Dia hanya berkata,”Jadi, beginilah akhir kehidupannya. Perempuan yang
malang” suaranya perlahan. Seperti diucapkannya di panggung sandiwara, perlahan
dan terang untuk mencapai telinga penonton.
Sore itu aku sudah gelisah
menunggunya. Anakku tak sabar lagi berngkat. Aku suah berjanji membawanya ke
bioskop bersama sidik. Ketika lonceng penjagaan berdentang tujuh kali, aku
sudah berputus asa. Dan aku berbuat berbagai cerita untuk menenangkan Atni.
Lalu kami seperti biasa berkumpul di ruang tamu dan mendengarkan radio. Aku
menyelesaikan beberapa sulaman baju anakku. Kudengar ada jib berhenti didepan rumah. Tapi aku tidk
berdiri dari kesibukanku. Aku kira salah satu dari kawan-kawan suamiku yang ada
di kompleks asrama utara. Biasanya mereka datang beramai-ramai untuk membawa
anak-anakkukeliling lapangan, atau kemudian duduk di teras bermain kartu atau
gitar. Ternyata yang datang adalah Nardi aku terdiam memandangnya dia berdiri
di depanku dengan senyum amat menyenangkan. Tangannya diulurkan kepadaku.
Darahku disirap memanasi muka. Tapi aku segera menyambut tangannya. Dia
menggenggam tanganku dalam kedua tangannya
sambil masih tersenyum memandangiku. Aku, setelah agak bisa menguasai
perasaanku, kemudian membalas senyumnya. Wajahnya adalah wajah yang tenang,
yang memberi kepercayaan bagi kedamaian.
Ia memadang kedua anakku yang duduk
diarah radio bersama pengasuhnya. “Kita akhirnya bertemu lagi disini”, dia
menyambung. Lalu dia bercerita. Dia kini menjadi dokter di Angkatan Laut. Dia
bertemu suamiku dalam rapat perwira. Dia melihat fotoku dan anak-anakku. Lalu
berjanji akan datang kerumah. Aku mengikuti ceritannya dengan kediamanku.
Kupandangi wajahnya, aku merasa ada kesamaan orang ini dengan suamiku. Kemudian
aku menemukannya: ketenangan dan kedewasaan yang menyeluruh wajah keduannya.
Pengucapannya sangat mengelakkan ketika pandangannya bertemu dengan mataku.
Suamiku menitipkan sebuah surat yang berisikan bahwa beberapa hari lagi ia akan
pulang. Dia juga berkata jika banyak regunya yang pindah ketimur, berpangkalan
di Ambon. Pada akhir suratnya itu dia berkata bahwa Dokter Nardi itu sangat
baik kepadanya.”Dia muda dan semangat,”katanya. “Dia mengatakan bahwa kau kenal
dia. Sebab itulah surat ini aku berikan kepadanya. Kalau kau memerlukan
apa-apa, minta sajalah kepadanya”.
Tepat seperti dulu Nardi datang
dengan surat atau titipan dari sidik. Nardi yang dulu selalu kaku pandangannya
yang seolah-olah akan canggung menghadapi kehidupan masyarakat didepannya, kini
ia daang dengan membawa surat dari suamiku. Sikapnya riang dan mengerti seperti
Wija. Wajahnya cerah seperti suatu keteduhan pohon yang rindang tempat orang melepas
lelah. Kemudian malam itu kami rayakan dengan berkeliling kota bersama anakku
Atni. Dan Atni bercerita kalau dia sebetulnya akan pergi kebioskop dengan bibi dan paman Sidik. “Jadi, dia masih
disini. Dan kau masih mencintinya” dia berkata tanpa menatapku. Matanya
memandang kealam yang suram. Langit diramaikan oleh titik bintang yang banyak
jumlahnya.
Aku menjadi dewasa oleh waktu dan
lingkunganku, Dati. Kau tak perlu takut padaku. Aku dulu pernah mengguncangkan
kepercayaanmu aku minta maaf, aku tidak malu sekarang meminta maaf. Tapi aku
rasa memang lebih baik begitu. Kau kini menjadi istri Wija. Dia orang baik, kau
tidak patut mengkhianatinnya. suaranya lembut sungguh-sungguh membujuk. Sore
itu aku sendirian dirumah. Kepala agak pusing. Anak-anakku dibawa Sus dan Medi ke
kompleks Utara, ketempat kawan-kawan lainnya. Sidik datang membawa karcis film
yang mau dilihat malam itu tapi aku menolak untuk pergi. Teryata Sidik
mengantarkan istrinya ke dokter makanya dia tak datang.
Malam itu aku tak bisa tidur suara
pesawat yang mendarat dan berangkat dengan tiba-tiba, suara jib dan mobil
mondar-mandir. Aku berpikir pasti terjadi sesuatu, tiba-tiba jib berhenti di
depan rumah ternyata Harja yang berpakaian lengkap dinas jaga malam. Tangannya
yang panjang merangkul bahuku sambil berkata membujuk “Tidurlah. Mereka akan
segera selesai.” Apa yang sedang terjadi? Pesawat Kapten Suwandi hiang. Hatiku
seperti ditusuk
sesuatau. Kami berpandangan dengan kaku. Kepalaku kutundukkan, aku merasa
pusing dan menarik nafas panjang. Aku merasa lantai rumahku bergoyang. Dan aku
berpegang ke lengan Harja. Aku pergi kedokter seorang diri setelah selesai
kulihat dia ersenyum.” Baru dua bulan” rasanya aneh suamiku memang menginginkan
memiliki tiga orang anak sekarang terwujud.
Malam itu aku keluar dan duduk
dikursi panjang. Aku memandang kesemua tempat dengan pikiran ang kosong.
Tiba-tiba tedengar suara seseorang berkata “kau sudah sembuh” teryata itu sidik. Sayup
dan beningnya suara itu menyelinap hatiku. Dan akhirnya aku tenggelam dalam
lorong hitam. Aku adalah istri terkutuk yang mengingkari kesetiaan dan
kecintaan suamiku. Sudah empat hari aku menggu kabar suamiku mereka masih
mencari keberadaan pesawat yang jatuh. Asrama kosong yang ada hanya
perempuan,anak-anak dan para penjaga. Ada sebuah mobil datang aku sudah tau itu
siapa. Kemudian mendekatiku tapi aku membuang muka dan menghindari bibirnya.
Tiba-tiba aku muak ingin muntah, aku jijik melihatnya. Aku benci. Perasaan yang
tak pernah timbul kini mencuat dari dalam hatiku. Tapi dia memegang tanganku
kuat-kuat, aku harus lepas! Aku mau melepaskan diriku. Kulihat Nardi berdiri
didepan pintu, kemudian seorang lagi Wija. Aku terpaku. Aku melihat ia tegap,
utuh. Tangannya diikat keleher oleh selembar kain putih, beberapa luka kecil dimukannya.
Seketika aku ingin lari kepadanya
dan memeluknya tapi tanganku masih dipegang olaeh Sidik. Aku memandang Nardi
matanya meneriakan kebencian yang tak terhingga kearah Sidik. Disinilah mereka kini ketiga-tiganya, dengan masing-masing
kepribadian yang berbeda saling berusaha memiliki aku, istri yang tak setia. “
Aku tau kau masih mencintainya. Tapi aku juga tau bahwa mencintai itu memang
mudah. Untuk saling mengerti itu sukar.” Aku berjanji Dati kalau aku akan
kembali, kini aku kembali. Kepada siapa lagi aku datang hanya kau dan
anak-anakmu yang kumiliki. Kami berpandangan, pertannyannya sangat menyedihkan
hatiku. Kututupkan jari-jari tanganku kebibirnya, dan kupeluk dia. Kurapatkan
kepalaku kedadanya dengan terisak. Sebuah kekuatan yang sejuk mengaliri
perasaanku. Kemudian aku menyadari kedamaian dan ketengan yang dibawanya
kepadaku. Aku mencintainya. Dan aku mencium jari-jari tangannya yang luka, yang
tidak masuk dalam balutan.
kesimpulannya apa sis?? ;)
BalasHapusplease answer my question................................................................................................................ thanks
Hapus